Salah satu akar persoalan mengapa Papua terus bergejolak adalah perdebatan tentang pelaksanaan Referendum Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Banyak generasi muda Papua yang belum sepenuhnya memahami mengapa PEPERA harus digelar. Peristiwa politik inilah yang membedakan sejarah integrasi Papua berbeda dengan daerah lainnya. Mengapa?
Karena walaupun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaanya dari Sabang sampai Merauke pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tetap keras kepala, tak mau angkat kaki dari bumi Papua. Berikut ini sebagaian dari upaya-upaya yang telah dilakukan bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua :
1. Konferensi Meja Bundar 1949
Empat tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda tetap saja belum mau hengkang dari Papua. Indonesia berusaha terus memaksa Belanda. Salah satunya adalah melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini berlangsung di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun kemudian.
KMB itu diikuti dengan Pengakuan dan Penyerahan kekuasaan atas wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Penyerahan itu dilakukan secara simbolis dengan dua upacara. Upacara pertama berlangsung di Amsterdam, di Istana Op de Dam, dihadiri oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekaligus perdana menteri, sebagai pemimpin delegasi Indonesia dan Ratu Juliana serta segenap kabinet Belanda. Upacara kedua berlangsung di Istana Negara, Jakarta, dihadiri oleh wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri Indonesia.
2. Trikora
Isi kesepakatan KMB dalam kenyataannya diingkari oleh Belanda sendiri.Belanda tidak hanya sekedar bertahan di Papua, tetapi lebih dari itu, mempersiapkan langkah-langkah untuk memisahkan Tanah Papua dari NKRI. Dewan nasional Papua dibentuk oleh belanda (cikal bakal Organisasi Papua Merdeka (OPM)) dan dimerdekakan secara tergesa-gesa lalu dilanjutkan pendeklarasian negara boneka buatan Belanda ini pada tanggal 1 Desember 1961.
Kelicikan Belanda membentuk negara bonekanya di papua itu, tentu saja membuat bangsa Indonesia berang. Maka pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Jogjakarta, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan Trikora ( Tri Komando Rakyat) untuk mengembalikan Irian Barat kepangkuan Negara Republik Indonesia. Konfrontasi dengan Belandapun tak terhindarkan.
3. New York Agreement
Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), Belanda akhirnya mau menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962. Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi kesepakatan itu intinya memuat road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian (20 September 1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia dengan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku,karena PBB terlibat.
Maka PBB pun membawa Persetujuan bilateral (NYA) ini ke dalam forum PBB, yang kemudian diterima dan dikukuhkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September 1962.
Agar Belanda tidak kehilangan muka, perundingan New York (NYA) mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru setelah itu PBB menyerahkanya ke pemerintah Indonesia melalaui referendum (PEPERA).
Maka terjadilah pada 1 Oktober 1962, wakil gubernur jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua tersebut. Badan PBB itu bernamaUNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Pada acara penyerahan itu, H. Veldkamp mengatakan : “Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia akibat persetujaun Internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : Penguasa sementara perserikatan bangsa-bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggunganjawab atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya.” (Mangasi Sihombing, 2006:32).
4. Referendum (PEPERA)
UNTEA lalu mempersiapkan referendum. Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati sebagai Hari kembalinya Papua ke dalam NKRI.
Tiga hari kemudian, tepatnya 4 Mei 1963 Bung Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang Papua di Kota Baru, Bung Karno dengan semangat membara menyampaikan pidato :
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)
Pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua yang di bentuk oleh belanda. Keputusan ini ditentang oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Proses persiapan referendum memakan waktu tujuh tahun. Baru pada tahun 1969, referendum (PEPERA) digelar dengan disaksikan oleh dua utusan PBB. Hasilnya,Papua akhirnya kembali ke pangkuan NKRI. Maka jadilah Papua menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian Jaya. Namun keputusan ini lagi-lagi ditentang OPM dan sejumlah pengamat independen yang diprovokasi Belanda.
Negara-negara Barat yang dimotori Amerika Serikat mendukung hasil PEPERA itu punya alasan karena tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak Uni Soviet (lawan mereka).
Inipun belum berakhir, Hasil PEPERA harus diuji dalam Sidang Majelis Umum PBB. Dan, lagi-lagi sejarah mencatat, PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969.
Bahwa kemudian PEPERA diragukan keabsahannya, itu adalah bahasa kecewa sekelompok aktivis Papua yang sengaja di bentuk dan dibiayai oleh Belanda yang lahir jauh setelah PEPERA disahkan. Mereka terus berupaya agar di Tanah Papua dilakukan referendum ulang. Padahal mereka tahu bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan.
Maka kepada generasi muda Papua yang sadar sejarah, mari kita fokus membangun Papua untuk semakin maju dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar