Keberadaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di bumi Papua tidak bisa lepas dari image buruk tentang kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Kesan buruk itu selalu melekat di tubuh TNI di setiap pemberitaan maupun opini yang berkembang di masyarakat. Kenyataan ini ibarat keberadaan smart phone Samsung dengan sistem operasi mobile Android, tak terpisahkan satu sama lain. Meskipun kita tahu bahwa sistem operasi Android adalah sistem operasi terbuka yang diadopsi oleh banyak merk smart phone. Tapi begitu orang membicarakan Android, pikiran kita langsung terbawa ke merk Korea tersebut, sebuahbranding strategy yang sangat sukses. Begitu pula dengan keberadaan TNI di wilayah paling timur Indonesia ini. Kekerasan dan pelanggaran HAM yang hanyalah noktah kecil di sebuah kertas A4 yang lebar, perbandingannya sangat tidak berimbang, kalau tidak mau dikatakan jomplang. Noktah kecil tersebut sebenarnya tidak sebanding dengan banyaknya hal positif yang dilakukan TNI untuk Papua, terutama pemberdayaan sumber daya manusia Papua. Dalam hal ini, TNI sangat concern terhadap pengangkatan nilai budaya-budaya asli Papua.
Pendekatan budaya yang dilakukan oleh TNI, khususnya Kodam XVII/Cenderawasih selaku penguasa teritorial militer di pulau Papua dipandang sebagai langkah yang positif untuk mengubah cara pandang masyarakat Papua terhadap TNI dan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rakyat Papua saat ini yang sebenarnya tidak sempat atau bahkan belum lahir saat orde baru bergulir pun seperti ikut-ikutan dengan pola pikir yang memandang TNI sebagai algojo berdarah dingin. Nah, hal inilah yang ingin diubah oleh TNI dengan strategi soft power nya melalui pendekatan budaya.
Pada bulan Oktober 2013, masyarakat Indonesia disuguhi dengan atraksi-atraksi yang memukau dengan kesan heroik dan patriotis dalam rangka perayaan HUT TNI ke-68 yang disiarkan oleh beberapa stasiun televisi. Namun kegiatan yang berbeda dilakukan oleh Kodam XVII/Cenderawasih. Kegiatan kemiliteran pun sedikit dimodifikasi dengan memasukkan nilai-nilai budaya Papua. Acara defile pasukan yang seharusnya menonjolkan unsur tegap dan gagah, disisipi dengan 1 peleton masyarakat asli Papua dengan pakaian perang tradisional asli Papua. Selain itu, acara peringatan HUT TNI ini pun dimeriahkan dengan perlombaan tari Yosim Pancar (Yospan) yang merupakan tari muda-mudi sebagai identitas asli Papua. Perlu diketahui, panitia acara perlombaan tari Yospan ini semuanya adalah anggota TNI yang secara kesukuan bukan dari Papua. Ini menunjukkan betapa TNI sangat mencintai budaya Papua. Kebanggan tidak berhenti sampai disitu, sebuah pengakuan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) berupa piagam diserahkan oleh manajer Muri, Sri Wijayanti, kepada Kodam XVII/Cenderawasih atas prestasinya sebagai pencetus dan pembuat noken (tas tradisional masyarakat Papua yang berasal dari serat kayu) terbanyak. Sebanyak 300 perempuan Papua dan Persatuan Istri TNI (Persit) terlibat dalam pembuatan noken berwarna merah putih ini. Dalam kegitan itu tercatat 652 buah noken berhasil dibuat.
Dari fakta-fakta yang terurai di atas, sudah terbukti dan tidak ada keraguan lagi bahwa TNI telah bertranformasi menjadi aparat yang humanis dan menjaga nilai-nilai budaya lokal. Sudah bukan jamannya lagi untuk takut kepada TNI. Bertolak belakang dengan itu, saatnya mewujudkan sinergitas antara rakyat, pemerintah daerah, TNI dan unsur-unsur lainnya untuk bersama-sama membangun Papua yang maju, berakhlak, damai dan sejahtera.
0 komentar:
Posting Komentar